istockphoto.com |
Oleh
Rafael Rahaq Wutun
Pada
suatu masa di Me’o hiduplah seorang kakek tua bersama istrinya. Namanya kakek
itu Oe. Nama yang sangat pendek. Sehari-hari mereka menggembalakan ternaknya ke
atas perbukitan yang hijau di antara Netpala dan Ajaobaki. Saat petang ia dan
istrinya akan menggiring kawanan ternaknya kembali ke kandang dekat rumah.
Pekerjaan itu mereka lakukan setiap hari dengan sukacita.
Namanya
Oe, ia tidak susah air. Ketika musim kemarau, sapi-sapinya tidak pernah
kehausan. Dengan mengusap permukaan rumput, air jernih akan keluar. Ketika ia
pergi, tempat itu kering kembali. Oe artinya air.
Istrinya
lebih rapuh. Dalam perjalanan ke padang yang lebih jauh, ia terjatuh dan mulai
sakit-sakitan. Hati kakek Oe menjadi semakin sedih ketika akhirnya sang istri
meninggal dunia. Ia menjadi suka melamun dan tidak semangat bekerja. Kakek Oe
mulai sering bicara sendiri.
Saat
di padang, ia merasa ada seseorang yang mengikutinya. Hari masih siang dan
matahari bersinar sangat terang. Ia menjadi sangat gelisah di tempat itu.
Semakin ia berpikir, semakin terasa dekat sosok asing di belakangnya. Aneh,
tiba-tiba saja ia menjadi seorang yang sangat penakut.
Aku
harus pulang saja. Mungkin karena sedang tidak enak badan, pikirnya.
Kepalanya
mulai terasa berat, sosok manusia asing seperti sudah ada di pundaknya. Kakek
Oe berjalan dengan sangat tergesa-gesa hingga akhirnya terantuk dan jatuh di
dekat sebuah pohon beringin (ficus
benyamina).
Ketika
ia mengangkat muka, ia melihat iblis pencabut nyawa dengan wajah menyeramkan
sedang duduk santai di hadapannya. Ia tiba-tiba ingat akan pedang miliknya yang
disimpan di pinggang. Ditariknya pedang itu, lalu mengayunkan tinggi-tinggi dan
menancapkannya ke atas tanah di samping pohon beringin. Seketika air bah
muncrat keluar dari lubang itu dan menyerang tubuh iblis tersebut.
Mungkin
yang keluar itu air suci sehingga iblis itu pun mati. Air terus keluar dari
lubang bekas tancapan pedang kakek Oe hingga kini. Tak lama setelah kejadian
itu, kakek Oe meninggal dunia. Dan tempat iblis itu mati dinamai Oepoto.
Kakek
Oe barangkali adalah keturunan dewa air.
Rafael
Rahaq Wutun
adalah siswa kelas VIII di SMPK St. Yoseph Freinademetz Kapan. Beberapa cerpen
Rafael akan muncul di buku antologi cerpen Dongeng dari Kap Na’m To Fena yang
akan terbit Mei ini.
Komentar
Posting Komentar