copyright joel gendron |
Oleh
Putry Babys
Pada
waktu aku masih kecil, nenek dari pihak ayah pernah bercerita padaku tentang
hal ini: entah tahun berapa, terlalu lama sekali hiduplah seorang kakek tua
bernama Mesakh yang tinggal di kampung bernama Sakteo. Ia memelihara ular
liuksaen (python timoriensis) di
sebuah gua dekat rumahnya. Setiap hari ia pergi untuk mengantar makanan. Karena
ular itu ia disebut-sebut sangat kaya raya. Ia seorang petani. Ia memang
pekerja keras namun dari mana datangnya kekayaan yang melimpah ruah itu?
Orang-orang saling berbisik, kekayaan itu datangnya dari liuksaen.
Kakek
Mesakh punya ratusan ekor sapi dan babi. Jumlah ayam yang tak terhitung
banyaknya. Rumah pun seperti istana. Setiap kali orang mengundangnya untuk
datang ke pesta pernikahan atau acara adat lainnya, ia akan datang tidak dengan
tangan kosong. Ia menarik serta sapi dan babi sebagai hadiah untuk tuan pesta.
Kabar
tentang kakek Mesakh sampai juga ke telinga bupati. Aku lupa namanya. Ayah
ibuku juga lupa nama bupati itu. Karena penasaran datanglah bupati itu ke rumah
kakek Mesakh.
“Apa
yang menarik dari diriku sehingga tuan bupati datang ke mari?”
“Aku
mendengar tentang liuksaen itu. Bisakah aku melihatnya?”
Bupati
ini tentu saja seorang penting yang harus dihormati. Kakek Mesakh akhirnya
mengajak beliau ke gua tempat liuksaen itu tinggal.
“Liko!
Liko! Kemarilah…”
Liko
artinya liuksaen.
Hanya
ada kakek Mesakh dan bupati seorang di tempat itu. Orang lain tidak
diperbolehkan ikut. Tidak diceritakan
pula kelanjutannya. Apa yang terjadi setelah bupati itu menemui Liko. Atau Liko
tidak mau keluar menemui mereka?
Dikisahkan
pula, setelah pertemuan itu, kakek Mesakh menghadiahi sang bupati seekor sapi,
15 ekor babi gemuk dan 9 pasang burung merpati.
Adakah
makna dari setiap angka itu? Aku tak tahu. Juga ayah ibuku.
***
Suatu
hari kakek Mesakh merasa dirinya sudah begitu tua. Ia sadar bahwa perbuatannya
itu salah. Entah kesadaran itu muncul dengan sendirinya ataukah karena bujukan
orang lain. Ia memutuskan pergi ke gua dan menemui ular raksasa itu.
“Liko,
kemarilah.”
Ular
itu datang menemui lelaki tua.
“Maafkan
aku. Mulai hari ini kuputuskan untuk tidak lagi memeliharamu. Aku akan pergi
untuk melanjutkan hidupku sendiri. Tolong jangan datang dan menggangguku.”
Seketika
ular itu menampar wajah kakek Mesakh dengan ekornya. Kakek Mesakh menangis dan
mencoba bertahan. Ia pulang dengan perasaan sedih dan bisu. Ya, saat itu juga
kakek Mesakh tidak bisa bicara lagi.
Ia
pulang dan mulai sakit-sakitan. Seminggu kemudian, anak-anaknya pergi
memberitahukan para tetangga bahwa ayah mereka yang terkenal itu telah
meninggal dunia.
Seketika
istana megah itu berubah menjadi rumah mungil nan sedehana. Seketika,
ternak-ternak menghilang. Tak satupun yang tersisa.
Putry
Babys
tinggal di Asrama Putri Susteran CIJ di Kapan. Bergiat di komunitas Lakoat.Kujawas
dan kelas menulis kreatif To The Lighthouse SMPK St. Yoseph Freinademetz Kapan.
Komentar
Posting Komentar