Langsung ke konten utama

Dongeng dari Kap Na’m To Fena

The Horse Sketch by Angel Ciesniarska


Oleh Dino Sesfaot

Di masa lalu aku dan beberapa saudaraku tiba-tiba saja muncul dari gua yang sangat gelap, dalam dan dingin. Kami keluar dengan tubuh telanjang dan ingatan yang sudah bekerja dengan sangat baik.
Yang kuingat, akulah manusia pertama yang keluar dari lubang hitam itu. Seseorang telah memuntahkan kami ke tempat ini dan kami tidak ingat apa-apa lagi tentang masa lalu di dalam gua. Kami hanya ingat ketika keluar dari lubang yang terasa lengket dan berair itu, kami merasa sudah sangat besar dan malu. Segeralah kami membuat pakaian sementara dari kulit kayu dan dedaunan segar.
Aku lupa menghitung jumlah saudara-saudaraku. Sebab ketika lahir dari lubang itu beberapa di antara kami sudah langsung berpencar entah ke mana. Mereka yang pergi dan berenang bersama para buaya menuju ke pulau-pulau lain. Sementara manusia lain yang memilih tinggal, termasuk aku, mulai melakukan kerjasama untuk bertahan hidup.
Dua bulan sekali muncul sekelompok manusia baru dari gua itu. Begitu yang terjadi di tahun-tahun berikutnya. Ketika makin banyak orang lahir, perselisihan dan pertentangan antar kepala tidak dapat dihindarkan lagi. Selalu saja ada beda pendapat, pertengkaran dan permusuhan. Pintu rumah dikunci bagi sesama saudara. Di jalanan dan perkebunan, perkelahian semakin mudah terjadi.
Barangkali inilah sifat kami?
Aku mengajukan pertanyaan itu kepada diriku sendiri ketika kami semakin sulit bergaul. Orang-orang baru dari pulau seberang mulai berdatangan. Mereka ada yang berjualan makanan dan ada pula yang menawarkan diri untuk bekerja di ladang-ladang kami. Penerimaan yang ramah hanya terjadi sekali, kesepakatan dibuat, selebihnya tabiat lama muncul kembali. Ketika terjadi pertengkaran, para pendatang itu akan pergi dengan murka, memasang pelana kuda dan pergi tanpa menoleh. Makanya disebut kap na’m to fena.
Kami adalah tuan-tuan tanah yang berhati keras seperti baja.

Dino Sesfaot adalah siswa kelas VIII SMPK St. Yoseph Freinademetz Kapan. Bergiat di kelas menulis kreatif To The Lighthouse, sebuah kelas menulis di Mollo, kolaborasi komunitas Lakoat.Kujawas dengan sekolahnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Liko

copyright joel gendron  Oleh Putry Babys Pada waktu aku masih kecil, nenek dari pihak ayah pernah bercerita padaku tentang hal ini: entah tahun berapa, terlalu lama sekali hiduplah seorang kakek tua bernama Mesakh yang tinggal di kampung bernama Sakteo. Ia memelihara ular liuksaen ( python timoriensis) di sebuah gua dekat rumahnya. Setiap hari ia pergi untuk mengantar makanan. Karena ular itu ia disebut-sebut sangat kaya raya. Ia seorang petani. Ia memang pekerja keras namun dari mana datangnya kekayaan yang melimpah ruah itu? Orang-orang saling berbisik, kekayaan itu datangnya dari liuksaen. Kakek Mesakh punya ratusan ekor sapi dan babi. Jumlah ayam yang tak terhitung banyaknya. Rumah pun seperti istana. Setiap kali orang mengundangnya untuk datang ke pesta pernikahan atau acara adat lainnya, ia akan datang tidak dengan tangan kosong. Ia menarik serta sapi dan babi sebagai hadiah untuk tuan pesta. Kabar tentang kakek Mesakh sampai juga ke telinga bupati. Aku lupa nama

Puisi-Puisi Peserta Workshop "Anak di Antara Mata Air, Hutan dan Batu"

Yoseph Alfredo Sesfaot Cerita Batu aku adalah ciptaan Tuhan aku diciptakan beraneka macam aku juga bermanfaat bagi makhluk hidup aku adalah batu bongkahan, pecahan, dan masih banyak lagi aku juga terkesan menarik aku juga banyak dibutuhkan tapi terkadang aku juga dicampakkan aku disia-siakan manusia dan lebih sadis lagi, teknologi merusak aku aku bisa bersatu, tapi aku juga bisa dipisahkan hatiku sedih hatiku remuk redam kejamnya dunia fana ini aku bagai anak yang kehilangan ibu dan saudara-saudaraku   *** Maria Apriyani Bessy Tubuhku Batu Mataku pernah lupa pada cahaya matahari Sebab gunung-gunung telah menutupi kesedihanku Tulang tubuhku bahkan tak tahu apa itu amarah Tubuhku batu Yang merasa tak mampu lagi melanjutkan hidupnya Tubuhku batu yang berserakan di halaman rumahmu Aku takut, gunung-gunung akan pergi Dan melupakanku *** Findy Lengga Pohon Aku membuahi seribu anak-anak Yang mungil dan berwarna merah Aku tak pernah dikhian